Malam baru merangkak separoh, namun jalan di belakang gedung telah lengang. Angin yang biasanya menerobos ventilasi ruang tata usaha jurusan tiba-tiba absensi. Malam seakan mati.
Mas Kus, penjaga malam gedung ini terlihat mulai mengantuk, namun sepertinya ia berusaha memaksakan diri untuk tetap terjaga. Tubuhnya bersandar di kursi dengan kepala terayun ke depan ke belakang persis seperti bunga ilalang yang diombang-ambingkan angin.
“Mas, aku pengen masuk pesantren.” kataku memecah kesunyian. Tanpa banyak berubah ekspresi, ia menoleh ke arahku.
“Buat apa?” katanya. Dahinya lalu berkerut menambah keseriusan wajahnya yang berjanggut lebat. Dengan berbalut jaket hijau militer ia selalu mengingatkanku pada pejuang timur tengah.
“Umurku makin senja, Mas. Aku pengen mengejar ketertinggalan.”
“Sejauh apa posisimu sekarang?”
“Amat terbirit-birit.” merah padam mukaku pengen mengakuinya, sebenernya pengen malu, tapi keinginan mendapat jawaban lebih mendorongku untuk bicara apa adanya.
“Terbirit-birit…??” ia masih belum puas atau mungkin perlu penegasan lagi.
“Masak besok kalo jadi suami pas ngimami istri cuma An-Nas dan Qulhu* aja yang dibaca” kataku.
“Hehe, kok bisa sih, melebih-lebihkan kamu ini…!” katanya dengan tatapan tak percaya.
“Kayanya waktu kecil aku nggak dapat lingkungan yang support untuk belajar agama, Mas. Sekarangpun begitu. Makanya sebelum terlambat aku pengen belajar di kuilnya sekalian. Pesantren..!” jawabku bersemangat.
“Modalmu?”
“Ghiroh...!”
“Bagus. Tapi ilmu nggak cukup dicari dengan sekedar ghiroh.”
“Lalu apa?” jawabku kesal sekaligus ingin tahu.
“Ada beberapa hal yang harus disiapkan…”
Lalu ia bicara kesiapan mental, material, konsentrasi, moral dan falsafah-falsafahnya. Ia fasih, karena selain menjaga keamanan gedung, setiap hari ia juga mengajar TPA.
"Jadi..." katanya dengan suara agak parau karena mengantuk "...sangat baik kamu belajar itu, bahkan wajib, karena itu undang-undangnya kehidupan. Tapi menurutku sebaiknya kamu menyelesaikan dulu skripsimu lalu kalau ada waktu, belajar di pesantren. Di dekat terminal itu ada pesantren salaf kalo mau. Kalo nggak ada waktu pelajarilah semampumu dimanapun. Kalau konsentrasimu buyar gara2 kamu pengen ngambil keduanya saat ini sekaligus jangan-jangan malah nggak teraih semuanya. Fokuskan salah satu dulu. Selesaikan skripsimu."
"Lalu tentang istriku tadi...?" tanyaku dengan senyum penuh arti.
"Loh, siapa juga yang mewajibkan kalo menikah harus hafal Qur'an? Enggak kan? Tapi sebaiknya memang hafal sih..." katanya dengan senyum penuh arti juga.
"Gini aja deh, kamu nyari istri dan belajar agamanya bareng aja. Ntar kalo kamu berusaha sampai sempurna banget trus baru nyari istri ntar malah nggak dapet-dapet istri lagi. Udah ach, aku tak makan dulu. Besok mau puasa syawal..." katanya sambil beranjak mengambil gelas dan roti. Hidangan sahur khas-nya.
Aku terdiam tak dapat bicara, kata-katanya sungguh membuat aku terdiam dalam renungan yang panjang. Ia memang lebih muda dariku namun kebijaksanaannya telah melampaui batas-batas usiaku. Terimakasih Mas...