u n t i t l e d
Musim bunga yang kau semai di antara degup jantung dan tubuh yang tercacah usia itu kini layu menjadi kesuntukan pagi yang penuh sangsi, ketika kau tiba-tiba pergi menjemput matahari.
Dengarlah... malam ini saat aku bermimpi mencuri aura rembulan untuk membakar malam, tubuhku lumpuh terjepit diantara reruntuhan muram hingga kelam yang ingin kubuang menjelma menjadi berhala keabadian yang menyematkan parade putus asa di dada kiriku. Saat itu kau tiba-tiba datang memberi tujuh helai sayap bidadari yang termetamorfosa dari bibir coklatmu hingga tubuhku yang lemah itu mampu kembali terbang mengejar cinta yang berpijar. Aku kemudian merayap perlahan, mengepakkan sayap-sayapku diiringi lokananta bidadari yang memainkan Canon in D mayor-nya Patchelbel.
Syahdu malam itu.... dan dari air matamu kulihat pantulan asmara mencumbui ragaku dan membenamkan kidung cinta di balik karang yang tumbuh di pelataran.
Aku telah terpuaskan. Aku tak butuh lagi wewangian kamboja menghambar di jambangan ruang tamu dan nisan yang berkarat menghiasi dinding malamku karena katamu kau sanggup berjalan dalam keterbatasan, kau sanggup bernyanyi dalam gersang. Berjanjilah kau akan tetap sederhana. Perlahan aku bangkit dari mimpiku dan kamboja masih mewangi dari balik pintu yang menghujung di ruang tamu.
Jogjakarta, 19 Mei 2004.
|
|
|
|
|
|
|
|
selamat jalan bulik asih
Aku masih duduk di halaman itu, menunggumu pulang membawa oleh-oleh sebungkus kehidupan yang kau jinjing dengan keceriaan bertemu keponakan. Bulik, aku masih ingat saat kita menghabiskan senja dan bercerita tentang keluguan remaja bapak, bulik dan om serta semua legenda keperkasaan kakek.
Aku masih mengingat itu semua seperti ingatan kekasih pada wajah pujaan.
Namun bulik.... berakhirkah itu sekarang?
Sedangkan aku belum datang saat tanah-tanah merah itu menutupi jasad tuamu?
Sedangkan aku belum mendengar rintihan saat lelah bercengkrama dengan hayatmu.
Sedangkan aku belum mendengar bisikan saat Tuhan mengambil senyummu.
Bulik, apakah senja yang pernah kita grafir dengan seribujuta tawa dan legenda itu
akan kembali pulang menjadi nyanyian nisan di lembah kesunyian?
Bulik inikah kenyataan?
Siapakah yang akan menemaniku menghabiskah senja itu?
Siapakah yang akan mengajariku berbicara dengan bahasa kasih
seperti yang tergurat dalam namamu.
Siapakah yang akan.....
Ah....!
Dan dalam keterpasungan aku pulang menemui kenyatan.
Kemudian kulukis wajahmu di pelataran dengan saputan tinta air mata.
Di langit malam, kepada purnama, bintang-bintang bercerita tentang kesedihan, rintihan dan puisi kematian.
Selamat jalan bulik asih semoga pahala dan ibadah menemani perjalanan
|
|
|
|
|
|